Tiga setengah tahun hatiku selalu tertuju kepada seseorang, hati yang selalu merasa nyaman ketika di aku bisa berada dekat dengannya. Tiga setengah tahun bukanlah waktu yang lama, banyak sekali lika liku yang aku alami. Sakit hati, pengorbanan, dan selalu mengatakan aku baik-baik saja.
Kini semua itu omong kosong. Rasa sakit itu membuat diriku seperti batu. Aku mengejar dunia yang tidak ada habisnya. Selesai dalam project satu pindah lagi ke project yang lain. Aku berharap dari banyak aktifitas yang aku lakukan, dari banyak pekerjaan yang selesai aku semakin bisa melupakan kesedihan masa lalu meski wajahku tidak perah menunjukkan kesedihan itu.
Semakin lama aku semakin mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku mendapatkan kekayaan, hidup nyaman. Memperkerjakan orang lain di bisnisku, membuat mereka nyaman agar mereka lebih loyal bekerja padaku.
Sejak 2 tahun lalu aku menjadi lelaki yang suka mendekati banyak wanita, aku punya uang, punya hal yang mereka inginkan, kehidupan mapan. Berganti pasangan, pacarin ini pacarin itu. Tapi semua yang aku dekati tidak bisa membuat hati ini merasa nyaman.
Hatiku membatu. Semua wanita yang dekat denganku mendapatkan perlakuan dinginku. Di otakku hanya ada pekerjaan dan ambisiku untuk mendapatkan banyak hal di dunia ini. Tidak ada yang bertahan lama, paling lama hanya sebulan.
Aku menjadi manusia yang sangat logis, menyisihkan apa yang namanya perasaan. Orang yang bertangan dingin, emosi stabil, dengan sikap dan perkataan yang bisa menusuk hati setiap lawan bicara.
Aku bisa mempengaruhi orang lain agar setuju dengan ku. Aku memiliki kemampuan social engineering yang bisa melihat celah dari manusia dan sosial. Itu yang membuatku sukses. Akulah lelaki.
Nyatanya akulah paradox itu. Aku mapan, kaya, genius tetapi aku sendiri tidak bisa mempengaruhi hatiku. Aku tidak bisa berdamai dengan diriku. Berdamai dengan masa lalu yang kelam dan dendam yang masih ada di memory otakku. Kenangan akan rasa sakit penghianatan seorang yang telah aku anggap saudara, membuat aku jatuh dan hancur sebelum aku bangkit lagi.
Dulu aku seorang seperi monster dengan hati batu. Ketika aku tidak sengaja bertemu dengan dia (cinta pertama dan semoga yang terakhir). Dia mampu membuat aku bisa bersyukur. Tepat tiga setengah tahun lalu aku bertemu di sebuah cafe.
Dia bagai seorang penyihir baik. Mampu melunakkan batu yang keras dan dialah orang yang membuat aku bisa memahami perasaan. Dia adalah seseorang yang paling aku hormati.
Aku tidak pernah mengutarakan perasaan kasihku padanya. Aku menunggu hingga aku bisa melepaskan belenggu dalam hidup. Dua tahu lalu aku harus keluar kota untuk waktu lama karena ada perihal bisnis. 5 bulan aku tidak menghubunginya, ketika aku kembali aku akan terus terang atas apa yang aku rasakan.
SALAH. Salah semua ekspektasi ku salah. Malam ketika aku sampai di kota itu, mencarinya dengan membawakan coklat yang paling dia sukai. Ekspresi wajah yang ramah dengan senyum tak lagi kulihat. Aku bertemu dengannya di depan rumah kost tempat dia tinggal. Aku memang tidak membuat janji dulu untuk bertemu dengan nya. Tidak seperi yang dulu.
Raut muka dengan Ekspresi yang sering aku lihat, raut muka yang menunjukkan rasa takut, ragu, dan ketidaknyamanan. Tanpa basa basi aku memberikan coklat itu tepat ketika purnama berada 30 derajat ketinggian dari tanah. Aku memberikannya dan kemudian sebuah mobil berhenti berada tepat disampingku.
Dia berlari masuk, mobil itu pintu nya terbuka dan keluar sosok yang sepantaran denganku. Aku tidak mengenalnya. Dengan penuh bertanya tanya aku hanya diam memperhatikan. Sebelum aku mulai mengajak lelaki itu berbicara, dia menyapaku.
“Mas temannya rika?” Lelaki itu dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
iya namanya Rika, wanita yang sudah membuat hati ini meleleh.
“Iya, aku temannya. Sepertinya mau keluar ya.. aku juga lelah ini mau pulang, urusanku sudah selesai. ” aku membalas sembari memperhatikan penampilan yang rapi, wangi dari lelaki di hadapanku.
Rika keluar dengan baju yang lebih formal. Aku tahu apa yang terjadi disini. Rika mengenalkan ku pada lelaki itu.
“Kak Thomas, kelalkan ini Brian.” Aku menjabat tangannya, kemudian dia membalas dengan kata yang begitu membuatku tambah bingung dengan kehidupan ini. Dia menjabab sebagai pacarnya Rika. Lengkap sudah.
Aku memutuskan pergi dengan alasan aku terlalu lelah, aku sudah tidak lagi memperhatikan raut wajah orang2. Aku sudah tidak lagi fokus. Aku tidak peduli.
Dari situlah hatiku membatu, berusaha dengan aktifitas agar aku tidak memikirkan masa lalu. Sebulan dua bulan masih sama, tepat ketika aku menerima kontrak project besar 3 bulan setelahnya aku bisa mulai menerima apa yang terjadi. Dan itu juga mulai membuat hati ini perlahan mengeras hingga menjadi benda yang solid, munhkin.
Sekarang apa yang yang aku dapatkan, apa yang aku rasakan hanyalah Hampa. Buat apa aku mendapatkan ini semua tetapi aku tidak benar2 menikmatinya.
Omong kosong dan rasanya benar benar hambar.